Rabu, 18 Juni 2008

DEMOKRASI DAN KEBEBASAN BERAGAMA


Oleh Hotman Jonathan Lumbangaol, S.Th *)

Indonesia adalah negara yang tergolong demokrasi soal kebebasan beragama. Terbukti, Departemen Agama dibentuk dalam rangka memenuhi kewajiban pemerintah untuk melaksanakan isi Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29. Pasal tersebut berbunyi, ayat (1) Negara berdasar atas ke-Tuhanan yang Maha Esa, ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam UUD 1945 pasal 29 tercantum kalimat “agamanya dan kepercayaannya itu”. Menurut kaidah bahasa Indonesia dan berdasarkan penjelasan Bung Hatta bahwa kata-kata “itu” di belakang kata “kepercayaan” dalam pasal tersebut menunjukkan makna kesatuan di antara agama dengan kepercayaan.

Namun yang terjadi hidup beragama masih diwarnai dengan berbagai tindakan radikalisme, kurang toleransi---muncul dalam bentuk aksi-aksi kekerasan massa. Ambil contoh, pembakaran Yayasan Doulos sampai hari ini tidak pernah disidangkan, atau kekerasaan terhadap pendeta HKBP di Rajek, Tangerang beberapa waktu lampau tidak jelas keadilan pemerintah. Di tingkat masyarakat, terjadi pembrondongan terhadap kebebasan beragama karena fanatisme yang mengharamkan pluralisme. Dan menghalalkan penutupan dan pengrusakkan rumah ibadah. Herannya, kasus-kasus seperti ini selalu dipetieskan. Yang berarti demokrasi belum berdiri tegak di santero Nusantara. Padahal, hak menganut dan mendirikan ibadah adalah hak hakiki yang dijamin undang-undang.

Perubahan SKB Dua Menteri diganti dengan Peraturan Bersama (Perber) pun tidak memberikan solusi, malah menyuburkan perusakan rumah ibadah. Gejala lain yang juga mengganggu prinsip (demokrasi) kebebasan beragama adalah dikeluarkan-nya apa yang disebut perda-perda syariah, mengharusan bagi pegawai perempuan pemerintah daerah untuk memakai jilbab. Kasus di beberapa daerah menjadi sumber konflik. Di Sumatera Barat misalnya, siswi Kristen disuruh pakai kerudung. Masalahnya bukan anti peraturan, melainkan peraturan produk kebudayaan Arab tidak bisa dipakai, di Indonesia yang berdasarkan masyarakat majemuk.

Jacques Rousseau, seorang satrawan dan filsuf Prancis (1712-1778). Menurut Rousseau, ketika pertama kali lahir, manusia dalam keadaan baik. Namun setelah bermasyarakat ia menjadi jahat karena ada persaingan, percekcokan dan lainnya. Untuk mengembalikan pada keadaan baik dan damai, maka harus ada kesepakatan bersama untuk mengatur kehidupan bersama. Kesepakatan bersama terjadi jika setiap orang menyerahkan pribadinya dan seluruh kekuatannya bersama-sama dengan yang lain di bawah pedoman tertinggi dari kehendak umum; pada tubuh manusia, kita menganggap setiap organ adalah bagian yang tak terpisahkan dari organ lainnya secara keseluruhan. Demikian pula demokrasi, kebebasan semua orang adalah keputusan dari suara terbanyak yang mencerminkan demokrasi. Sebaliknya kebebasan seseorang tidak mencerminkan kehendak umum. Walau kebebasan pribadi harus dihargai negara demokrasi. Maka, disinilah pentingnya toleransi umat beragama. Fanatisme terhadap kepercayaan pribadi tidak bisa dipaksakan pada orang lain.

Demokrasi Absurd

Kasus massa menghakimi ustad di Kota Malang, Jawa Timur karena diduga menyebarkan kesesatan, massa merusak kantor organisasi keagamaannya. Kelompok tertentu ingin memaksakan kehendak sendiri. Atau kasus Ahmad Musaddeq alias Abdussalam, pria yang mengklaim nabi ini diancam hukuman atas pelanggaran pasal 156 huruf a KUHP selama menyebarkan aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Musaddeq dijerat dakwaan penodaan agama. Sebelum membentuk aliran, Musaddeq bertapa selama 40 hari 40 malam di Gunung Bunder, Pamijahan, Bogor. Usai bertapa, pada 23 Juli 2006, Musaddeq mengikrarkan diri gelar ”Al-Masih Al-Mawud” alias juru selamat yang dijanjikan. Sebenarnya dia bukan menyakiti umat Muslim saja, tetapi juga melecehkan umat Kristen. Namun menurut penulis, tak jadi soal--- Ahmad Musaddeq bilang apa, yang bertanggung jawab adalah dia sendiri. Demi demokrasi harus diterima. Demokrasi memang absurd. Demokrasi seperti setan yang baik yang harus dijaga.

Ini berarti kebebasan tersebut mencakup penyiaran agama. Itu semua merupakan konsekuensi menjunjung Hak Asasi Manusia (HAM) dari kencenderungan masyarakat Indonesia yang tergolong religius. Sebab, kebebasan beragama adalah hak asasi paling hakiki manusia. HAM adalah hak yang melekat pada setiap orang dan tidak merupakan pemberian siapa pun, termasuk negara. Apabila negara telah mengakui dan melindungi HAM dalam konstitusi, maka soal HAM juga berarti bebas memeluk agama.

Karena itu, Negara wajib melindungi pemeluk agama. Karena itu, negara tidak boleh mentolerir pengrusakkan tempat ibadah. Negara harus menindak tanpa pandang bulu. Baik kekerasan yang mengatasnamakan agama dan pelanggaran HAM. Oleh sebab itu negara harus memiliki komitmen terhadap HAM. Maka pemerintah sebagai penyelengara negara harus mencegah dan menentang setiap pelanggaran hal-hal di atas. Karena penegakkan HAM salah satu fondasi dari pilar demokrasi. Dan, ketegasan negara sebagai pemilik otoritas--mengadili seadil-adilnya bagi mereka yang memaksakan kehendaknya terhadap agama lain. Hal ini harus direalisasikan negara, jika tidak penegakan HAM tidak pernah akan ada, atau malah tetap sebagai negara demokrasi abu-abu. Hak menganut agama merupakan kebebasan mengembangkan agamanya, bahkan mendirikan sekte (aliran) baru harus dilindungi negara. Karena itu, konsitusi negara harus menjamin Kebebasan Beragama untuk semua orang..

*) penulis adalah Pengurus Alumni Sekolah Tinggi Teologia Doulos Jakarta, peminat masalah-masalah sosial. Selain menulis dibeberapa website, dan melayani Kaum Muda. Penulis bisa ditemui e_mail; hotman_marluga@yahoo.co.id

Tidak ada komentar: